Kamis, 26 Januari 2012

Merantau ke Deli {Lelaki Minang dalam Memori }

DALAM roman-roman yang ditulis Hamka (1908-1981) selalu mengemuka seluk-beluk "adat" dan "kebiasaan yang diadatkan", yang pada prinsipnya dipandang menghambat gerak langkah individu maupun masyarakat, menuju kemajuan. Seperti dalam Merantau ke Deli (MkD), yang secara tuntas menyorot seorang lelaki Minang yang ditakdirkan menganut paham matrilineal (garis keturunan menurut ibu) dengan segala kosekuensinya.

Bahan dasar roman yang sudah klasik ini, konon, digali dan ditimba pengarang dari permasalahan masyarakat yang diakrabinya. Masuk akal, pengarang, Hamka, adalah orang Minang. Dan, berbulan-bulan lamanya beliau menjadi guru agama di satu pekan kecil, Pekan Bajalinggai dekat Tebing Tinggi, Deli, Sumatera Utara; tempat berlangsungnya komunikasi-transaksi antara pedagang dengan pembeli yang sebagian besar kuli kontrak perkebunan karet yang terbelenggu Poenale Sanctie -yang terkenal di zaman penjajahan Belanda.

Leman, perantau asal Minang yang menjadi pedagang keliling di tanah Deli, bertemu dan langsung mencintai Poniem, perempuan suku Jawa berstatus kuli merangkap gundik atau istri piaraan salah seorang mandor besar perkebunan karet.

Keduanya kabur untuk menikah. Kebersamaan mereka mengalami keberuntungan. Mereka berhasil membangun keluarga bahagia serta dapat mengusahakan sebuah kedai kain. Dan kemunculan Sujono, yang juga bekas kuli kontrak keturunan Jawa, membuat dagangan mereka kian maju.

Namun pada suatu ketika Leman memboyong Poniem ke kampung halamannya. Hal ini berakibat buruk. Leman didesak melalui berbagai alasan oleh kaum kerabatnya (orang sepesukuan atau sesilsilah) untuk mengawini Mariatun. Kehadiran perempuan muda itu menimbulkan banyak persoalan. Keharmonisan rumah tangga Leman-Poniem terganggu. Dan peristiwa yang amat tragis itupun tak terelakkan lagi. Poniem diusir dan dijatuhi talak tiga. Berhubung Leman melontarkan makian yang begitu menyakitkan hati orang Jawa, maka Sujono kepercayaannya pun merasa ikut dihinakan. Sujono angkat kaki mengiringi kepergian Poniem. Kemudian, Sujono dan Poniem yang sebelumnya sudah seperti orang beradik-kakak, menikah dengan dalih menghindari syak wasangka terhadap mereka yang bernaung di bawah satu atap.

Sementara itu, sepeninggal Sujono-Poniem, perniagaan Leman berangsur mundur. Lalu jatuh pailit. Leman insyaf, sukses dia selama ini bukan hanya karena cucur keringat sendiri, melainkan lantaran adanya bantuan dan dorongan moral Poniem yang setia lagi rajin serta tahu diuntung ditambah dengan jerih payah Sujono, anak semangnya yang lurus dan tak kenal lelah. Sehingga sewaktu secara kebetulan dia bersua Sujono (yang telah kaya), dia mengutarakan sekalian uneg-uneg berikut penyesalannya dan berharap agar satu saat nanti bisa bertemu dengan Poniem.

Sujono yang baik bersedia meluluskan permohonan Leman. Dia mengatur perjumpaan Leman dan Poniem di rumah belian yang baru mereka tempati. Dalam pertemuan tersebut, ketiga orang yang dulunya pernah berkumpul itu saling berkisah dan buka kartu serta bermaaf-maafan guna memupus dendam yang mungkin masih tersemat di sanubari masing-masing.

Akhirnya Leman sekeluarga pulang kembali ke kampung halamannya. Dia sudah tidak sanggup hidup di Deli. Tenaga sudah jauh berkurang, modal juga tak seberapa lagi. Sedang untuk menerima tawaran Sujono-Poniem yang hendak memberi tambahan modal, berat sekali rasanya. Kenyataan yang dihadapi membuat batinnya terpukul. Leman merasa malu kepada dirinya sendiri.

***

Peranan atau kedudukan laki-laki di negeri (Minang) yang mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi menerapkan sistem-hukum kekerabatan matrilineal ini memang rada-rada sulit dan mengambang. Sebagai seorang suami umpamanya, dia adalah pemimpin, tulang punggung atau kepala keluarga yang menyandang kewajiban lahir batin atas istri serta anak-anaknya. Namun konkretnya, dia seolah-olah tidak berada di posisi yang selayak dan sebenarnya itu.

Lelaki Minang yang sudah menikah akan tinggal di rumah istrinya. Dan menurut kebiasaan, di sana dia tak ubahnya seperti seorang penyewa kamar penginapan, di mana sang istri berfungsi selaku pelayan merangkap pemilik yang, anehnya, tidak tahu-menahu urusan penginapan yang diatur dan diselenggarakan oleh kaum kerabatnya yang laki-laki, yang besar kemungkinan hanya mengharapkan laba berupa materi.

Kaum kerabat si istri menamai tamu atau si suami tadi "urang sumando", yang diibaratkan seperti "abu di atas tunggul", alias tidak memiliki hak serta pondasi yang kuat kukuh di kediamannya. Justru karena itu, sering terjadi, kalau dia kaya atau masih mampu mencari uang maka kaum kerabat si istri akan sangat berhati-hati menjaga perasaannya. Sebab, sekiranya tidak demikian, dia tentu tidak akan betah tinggal di rumah istrinya. Dengan kata lain, tamu atau "urang sumando" niscaya diterbangkan angin atau mencari tempat hinggap yang baru, perempuan atau penginapan lain yang lebih memadai servisnya. Hal tersebut sudah barang tentu merugikan, terutama mereka yang mengelola dan akan terus mengelola penginapan yang didiami kemenakan atau saudara perempuan yang diceraikan suaminya.

Selain itu, selaku seorang ayah laki-laki Minang juga tidak bebas merdeka menentukan masa depan anak-anaknya. Hal mana kentara sekali di kala anaknya, terlebih yang wanita, hendak dikawinkan. Walaupun kaum kerabat calon pengantin yang terdiri dari mamak, datuk maupun penghulu, sesuai ajaran Islam, tidak sah bertindak sebagai wali nikah, namun dalam hal mencari jodoh, memutuskan persoalan atau menjatuhkan pilihan terhadap seorang calon, belum sah pula seandainya hal itu hanya ditangani oleh si ayah.

Dengan demikian jelaslah bahwa di samping kewajiban-kewajiban semu di rumah tangganya, seorang laki-laki mesti banyak berkorban dan berpartisipsi di lingkungan dari mana dia berasal. Tapi memang, putra Minang tidak mungkin lepas dari ikatan keluarga ibu atau saudara-saudaranya yang perempuan, selaras dengan sistem kekerabatan yang dipeluknya. "Suku tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi", demikian bunyi pepatah yang berlaku.

Namun peran(an) atau kedudukan laki-laki di lingkungan asalnya relatif jauh dari relevansi keadilan yang diyakini sebagai hal yang sangat didambakan manusia mana pun. Atau katakanlah bahwa loyalitas, aktivitas maupun pengorbanan laki-laki tidak diimbali dan dihargai sebagaimana mestinya. Dalam masalah ini merupakan nasib lelakilah untuk "bertualang" di luar rumah tangganya dan juga di luar lingkungan yang dijunjung tinggi lagi diagung-agungkannya. Tempat atau gelanggang lelaki Minang adalah di surau selagi muda remaja. Lalu di rumah istri -yang diintervensi- bila sudah bekeluarga. Dan kemudian, di hari tua tiada berdaya kembali ke surau, menanti hantaran nasi atau bekal dari anak-kemenakan yang merasa prihatin, sambil menunggu ajal.

Lain pula halnya dengan laki-laki Minang yang mengadu untung dan berdomisili di (pe)rantau(an). Sudah menjadi suatu kelaziman untuk pulang ke kampung halaman, sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, guna mempererat tali kasih sayang dengan sanak saudara berikut orang sekampung. Meski kebiasaan ini mengandung hikmah dan nilai-nilai yang pantas dipujikan namun jelas teramat sukar dilaksanakan. Apalagi kalau mereka beristri orang luar Minang.

Seperti yang dihadang Leman yang kawin dengan perempuan Jawa. Akan ia bawa dan tumpangkan di mana Poniem setelah sampai di tanah kelahiran? Ke tempat orangtua atau rumah saudara-saudara perempuan yang selama ini dia perjuangkan itu? Sekali-dua tentu boleh-boleh saja. Soalnya, di Minang tidak dibiasakan membawa istri ke lingkungan kaum kerabat sendiri. Tidak pantas. Tabu. Bahkan, dianggap cela. Di sana toh ada orang lain, "urang sumando".

Di samping itu ada lagi ketentuan yang memberatkan Leman. Yakni, satu kali dalam hidupnya lelaki Minang harus kawin dengan orang kampungnya sendiri. Sebab sebelum dia beristri urang awak, menurut adat alias kebiasaan yang diadatkan, dia tidak bisa memakai gelar "Sutan ." di belakang namanya. Toh ada adagium: "kecil bernama besar bergelar". Artinya, dia belum lagi mendirikan adat dan lembaga. Dan ini merupakan hutang kepada nagari, hutang moral yang memalukan segenap sanak saudara.

Nah, kebisaan-kebiasaan yang -secara salah kaprah- diadatkan di negeri leluhurnya itu ternyata termakan oleh Leman. Dia kawin dengan orang sekampungnya. Dengan demikian bermulalah era baru dalam hidupnya. Terjadilah segala sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikir dan terbayangkan. Penghidupan Leman berputar bak roda pedati, dari atas menggelinding ke bawah. Penyebabnya tiada lain, dapur yang semula satu sekarang telah menjadi dua. Pikiran yang selama ini hanya buat Poniem dan perniagaan telah terpecah untuk Mariatun.

Apalagi, tidak seperti dengan Poniem. Sesuai kebiasaan-zaman, Leman tidak pernah saling terbuka dengan Mariatun. Dulu, istri di Minang konon tinggal tahu ada saja, tidak bahu-membahu dengan suami dalam mencari nafkah. Sehingga Leman yang sesungguhnya telah karam masih berusaha tersenyum dan selalu berupaya mencukupi kebutuhan Mariatun berikut rongrongan kelaziman berlatar-belakang kampung halaman sendiri.

***

Dalam MkD integritas adat dan kebiasaan yang diadatkan mengedepan memperlihatkan bentuk dan corak tersendiri, menimpa seorang lelaki, sampai-sampai perekonomian maupun penghidupannya jatuh ke lembah kemiskinan dan derita.

Hemat kita, pengajaran atau atau missi moral yang diusung Hamka dalam MkD adalah, segala sesuatu yang dihadapi seyogyanyalah disadari, dipertimbangkan dan dijalani dengan akal sehat (logika). Dengan kata lain, persoalan serta nasib yang dialami Leman merupakan realisasi kebiasaan-kebiasaan belaka, yang tidak berdasar dan, tak bakalan terjadi sekiranya Leman mau menghindarinya.

Ya, melalui MkD pengarang mencoba mengkritisi dan mengembalikan porsi posisi "adat" dan "kebiasaan yang diadatkan" ke tempatnya. Karena kekeliruan dalam menerjemahkan perihal tersebut cenderung mengingkari norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang hakiki, dan menimbulkan berbagai efek (psikologis) yang fatal.

* Nelson Alwi, pencinta sastra-budaya, tinggal di Padang

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 Juli 2008

Senin, 23 Januari 2012

Teganya Dirimu (Lirik Lagu Melayu)

P : mengapa kita harus berjumpa,sedangkan ku tak mengharap lagi

L : kudatang padamu menepati janjiku,untuk hidup bersamamu

P : terlambat engkau terlambat sudah,ku telah mendapatkan pengganti mu

L : teganya hatimu melupakan diriku,tak kusangka engkau jadi begitu

P : ooh... bukanlah kehendakku,kau....yang tiada setia

L : memangnya salahku tak memberimu kabar,engkaupun tiada bersabar

P : tak mungkin ku kembali padamu,diriku kini telah berdua

L : sudahlah nasibku harus jadi begini,hancurlah sudah segala harapanku

Jumat, 20 Januari 2012

Dirunduang Seso (Boy Shandi)

bakuliak alang di tangah hari
hati den risau di rundung seso
ondeh sikok tabang malayok
manyamba pipik nan makan padi
ondeh sikok tabang malayok
manyamba pipik nan makan padi

lai den cubo maubek luko
lah denai ubek jo piladang
cegak bana luko batauik
den pandang-pandang padiah juo

sakiknyo hati padiahnyo luko
antah bilo kasanang
raso manguncang maliek adiak basandiang duo ..
hilanglah sudah angan jo mimpi
tingga denai nan manangguangkan
jo aie mato alek den jalang
sananglah adiak di tangan urang

Kamis, 19 Januari 2012

Cinto Bapaluak Angan Lirik Lagu Minang (Boy Shandi)

jikok raso tak mungkin kasiah jo cinto nak kito jalin
usah kasiah adiak papanjang ...
usah denai di paharokkan jo bungo cinto ka adiak sarahkan
pado denai baputiah mato jikok cinto dibagi duo
bialah cinto den paluak di angan sajo

dulu cinto adiak raso ka iyo
adiak rasah bilo kito indak basuo
kini kasiah sayang alah mahilang
jikok batamu muko nan adiak buang

usah denai di seso juo
usah denai du ranyuak juo
nyampang cinto denai anggan adiak tarimo
bialah cinto den paluak di angan sajo

Selasa, 17 Januari 2012

Convert Object To Array With PHP

source : phppro.org || Converting an object to an array using PHP comes with a small gotcha. One would be forgiven for thinking it is merely a task of casting the object and the job can be completed with a single line of code. This works well for simple objects, however, the task increases in complexity in line with the objects complexity.

Consider the following object that is cast to an array.

foo = 'foo';
$obj->bar = 'bar';
$obj->baz = 'baz';

/*** cast the object ***/
$array = (array) $obj;

/*** show the results ***/
print_r( $array );


The result from the code above produces an array representation of the object. This is the desired result as shown here

Array
(
[foo] => foo
[bar] => bar
[baz] => baz
)

Lets now increase the complexity of the object, so that the object bar is itself an object.

foo = 'foo';
$obj->bar = new stdClass;
$obj->bar->baz = 'baz';

/*** cast the object to array ***/
$array = (array) $obj;

/*** show the results ***/
print_r( $array );
?>

From the code above, the issue becomes a little clearer, as the resulting array contains an instance of stdClass, and not an array.

Array
(
[foo] => foo
[bar] => stdClass Object
(
[baz] => baz
)
)


To remedy this situation, some recursion is required to check for an object, and if an object is found, it is give an array representation.

foo = new stdClass;
$obj->foo->baz = 'baz';
$obj->bar = 'bar';

/**
*
* Convert an object to an array
*
* @param object $object The object to convert
* @reeturn array
*
*/
function objectToArray( $object )
{
if( !is_object( $object ) && !is_array( $object ) )
{
return $object;
}
if( is_object( $object ) )
{
$object = get_object_vars( $object );
}
return array_map( 'objectToArray', $object );
}

/*** convert the array to object ***/
$array = objectToArray( $obj );

/*** show the array ***/
print_r( $array );
?>

Now the results show a multi-dimensional array which is a true array representation of the object.

Array
(
[foo] => Array
(
[baz] => baz
)

[bar] => bar
)

Indang Pariaman TANAH PUSAKO

Kami sampaikan didalam lagu
aturan tantang nyo hukum tanah pusako
acok didanga yo mamak saja dahulu
iko manjadi oi kanduang silang sangketo

biapun dusun nan jo taratak
sawah jo tabek baladang nan jo rimbo
dari lah niniak oi kanduang turun ka mamak
sampai ka kito yo sanak jadi pusako

indak bahitam oi di ateh putih
indaklah ado basurek ba katarangan
supakaik kaum oi mangkonyo buliah
kalau di jual oi kanduang jo di gadaikan

Hukumnyo tanah iyo bakabuang
adaiknyo sawah yo mamak nan bapamatang
kok nan kuaso yo sanak bundo kanduang
iyo limpapeh oi kanduang rumah nan gadang

nan laki-laki untuak panjago
tanah pusako oi kanduang jan nyo lindang
malu di kaum yo mamak talataknyo
sako kok jadi oi sanak ladang urang

yo bara bana oi sakik nan datang
sakik kok lai oi kanduang dapek di tahan
tanah pusako oi si niniak moyang
Indaklah buliah oi kanduang bapindah tangan

salah di adaik sarato cupak
carikan undang yo malah dalam agamo
sawah jo ladang yo mamak mangko balupak
gangamlah arek oi kanduang pusako lamo

Tajamnyo alah calakpun nyato
tingga di bao oi kanduang nan manyampaikan
adaiknyo alah oi kanduang syarak pun ado
tingga dek kito yo sanak nan mamakaikan

kabeklah arek oi kunci lah santuang
iduik didalam oi kanduang yo padamaian
iyo dek ulah oi pusako guntuang
mangko ka timbua oi kanduang yo patangkaran

Vocal : Heri Tanjung & dewi titin
Cipt : Ujang Virgo

Minggu, 15 Januari 2012

Indang Pariaman RAGAM DUYA

indak talabiah yo takurang ndeh sanak ei
lai sasuai jo papatah yo kanduang ei ..
kalau sakali ayia gadang yo mamak ei ..
nan sakali tapian pindah
kalau sakali ayia gadang yo mamak ei...
nan sakali tapian pindah

parubahan alam di ta'asia yo sanak ei
ado baiak ado nan salah yo kanduang ei
ado cancang manjadi ukia yo mamak ei ..
ado ratak mambao pacah
ado cancang manjadi ukia yo mamak ei ..
ado ratak mambao pacah

sansailah badan e e e ..dek ragam duya
sansailah badan e e e ..dek ragam duya

lamo hiduik banyak di rasai yo sanak ei ..
jauah jalan banyak basuo ndeh kanduang ei
dahulu adaik nan bapakai ndeh mamak ei
kini kok pitih nan paguno

dulu basingguang mangko kanai ndeh sanak ei
ateh kudo lakek palano ndeh kanduang ei
kini anau mamanjek sigai yo mamak ei
nan dek pitih talampok sajo

sansailah badan e e e ..dek ragam duya
sansailah badan e e e ..dek ragam duya

barapo banyak nan basuo ndeh sanak ei ..
dahulu bajak pado jawi ndeh kanduang ei ..
tuga tahantak pagi cako ndeh mamak ei
jaguang babungo kalam hari
tuga tahantak pagi cako ndeh mamak ei
jaguang babungo kalam hari

ameh buliah pandaki gunuang ndeh sanak ei ..
nan dek padi sagalo jadi ndeh kanduang ei ..
malam tibo di tangah lakuang yo mamak ei ..
nan dek ayia indak tatimbo

sansailah badan e e e ..dek ragam duya
sansailah badan e e e ..dek ragam duya

Vocal : Amriz Arifin

Jumat, 13 Januari 2012

Uang didalam peribahasa berbagai budaya bangsa

dapat dari formnya TDW ...
Lihatlah peribahasa dari setiap budaya dan Anda akan belajar tentang esensi nilai-nilai dari peribahasa tersebut. Sebagian besar peribahasa tentang uang telah menjadi bagian dari kearifan universal.
Berikutini 38 peribahasa tentang uang :
  1. Satu sen yang ditabung adalah satu sen yang diperoleh. -Benjamin Franklin
  2. Banyak murid telah mendapatkan kekayaan lebih dari tuannya. -Yunani
  3. Jika seseorang mempunyai seratus dolar dan menghasilkan satu juta dolar, maka hal tersebut sangat luar biasa; Tetapi jika seseorang mempunyai seratus juta dolar dan menghasilkan satu juta dolar, maka hal tersebut tidak bisa terhindarkan. -Amerika
  4. Misers mengumpulkan kekayaan bagi mereka yang ingin mereka mati. -Polandia
  5. Jika Anda ingin menipu orang yang kaya dan kuat, Anda jangan menghina mereka. -Jepang
  6. Dia yang meminjam maka dia akan mengalami penderitaan. -Turki
  7. Ketika emas berbicara, setiap lidah akan diam. -Italia
  8. Orang yang menabung maka orang tersebut akan menjadi orang yang bebas.-Cina
  9. Ketika uang berbicara, kebenaran akan diam. -Rusia
  10. Uang milik masyarakat seperti air suci, maka semua orang membantu dirinya sendiri untuk mendapatkannya. -Italia
  11. Uang menyebabkan bajingan menjadi diakui. -Yiddi
  12. Uang adalah uang, darimanapun itu berasal. -Perancis
  13. Jika Anda memiliki uang, Anda memiliki kebijaksanaan; jika tidak, maka Anda bodoh. -Turki
  14. Dia yang meminjam akan mengalami penderitaan. -Turki
  15. Jika kemanapun Anda pergi Anda erat dengan uang, maka Anda akan disambut dengan kehidupan yang tidak cerah.-Cina
  16. Siapa yang membayar utang-utangnya akan menjadi kaya. -Perancis
  17. Makan dan minum dengan teman-teman Anda tetapi tidak melakukan perdagangan dengan mereka. -Turki
  18. Di bawah kapitalisme, manusia mengeksploitasi manusia; Di bawah sosialisme, keadaan yang terjadi adalah yang sebaliknya. -Polandia
  19. Kegagalan datang untuk memenangkan uang. -Cina
  20. Kekhawatiran tentang uang bukan luka yang fana. -Perancis
  21. Ketika Anda miskin, tetangga tidak akan datang, setelah Anda menjadi kaya, Anda akan terkejut dengan kunjungan dari kerabat jauh. -Cina
  22. Mendapatkan uang seperti menggali menggunakan jarum. Pengeluaran itu seperti air yang cepat meresap ke dalam pasir. -Jepang
  23. Bila Anda hanya memiliki dua sen yang tersisa di dunia, maka Anda beli sepotong roti dengan satu sennya dan bunga lili dengan satu sen lainnya. -Cina
  24. Jika uang kecil tidak dikeluarkan, maka uang besar tidak akan masuk. -Cina
  25. Memiliki satu sen seperti memiliki uang yang banyak jika Anda tidak memiliki uang sepeser pun. -Yiddi
  26. Sulit untuk menjadi kaya tanpa menyombongkan diri seperti sulitnya menjadi miskin tanpa mengeluh. -Cina
  27. Mereka yang menghina uang akhirnya akan mengemis kepada teman-teman mereka. -Cina
  28. Hati yang bahagia lebih baik daripada sebuah tas yang penuh dengan uang. -Italia
  29. Setelah orang kaya menjadi kaya, ambisi berikutnya adalah menjadi lebih kaya. -Amerika
  30. Tidak ada jumlah uang yang dapat membuat orang lain memuji Anda di belakang Anda. -Cina
  31. Uang tidak dapat membeli keinginan hati. -Cina
  32. Ketika keberuntungan Anda meningkat, kolom rumah Anda menjadi bengkok. -Armenia
  33. Bukan uang jika tidak memberikan kebahagiaan walaupun dalam jumlah uang yang banyak. -Rusia
  34. Menginginkan sesuatu dalam waktu yang cukup lama maka Anda tidak bisa mendapatkannya. -Cina
  35. Ucapan bodoh dari orang kaya akan menjadi ucapan yang bijaksana. -Spanyol
  36. Jika Anda memiliki uang, Anda dapat menciptakan hantu dan setan kembali ke gerinda. -Cina
  37. Jalan terpendek menuju kekayaan terletak pada penghinaan kekayaan. -Seneca
  38. Dengan uang di saku Anda, Anda menjadi bijak, tampan, dan bernyanyi dengan baik. -Yiddi

Minggu, 01 Januari 2012

Jika Seseorang Menyukaimu

Nasihat berikut ini ditujukan baik untuk laki-laki maupun, dan terutama, untuk perempuan:

Jika seseorang menyukaimu sedangkan kau tidak menyukainya, jangan rendahkan harga dirinya sebab bagaimanapun ia tidak bermaksud jahat kepadamu.

Jika ia tersenyum padamu, tersenyumlah juga padanya. Jika ia berpapasan denganmu, janganlah menghindar. Jika ia menyapamu, jawablah sapaannya. Jika ia menanyakan nomor teleponmu, berikanlah. Jika ia mengirim sms padamu, balaslah. Jika ia meneleponmu, angkatlah. Jika ia memberi sesuatu kepadamu berupa hal-hal kecil, terimalah pemberiannya dan ucapkan terima kasih secara wajar.

Kau baru boleh menyatakan penolakanmu, itu pun secara baik-baik dan sopan, jika ia telah mengungkapkan secara jelas rasa sukanya atau rasa cintanya kepadamu.

Berterima kasihlah kepada orang-orang yang menyukaimu, dan bersikap baiklah kepada mereka, sebab kehadiran mereka menunjukkan nilai dirimu. Sebagaimana kau pantas bersedih jika tidak seorang pun menyukaimu, kau pantas bersyukur jika ada orang yang menyukaimu.

Jika seseorang menyukaimu, yakinlah bahwa di samping dia tidak akan memiliki niat buruk padamu, justru dia akan selalu mengharapkan kebaikanmu dan berdoa untuk kebahagiaanmu.

Jika kau telah menunjukkan penolakanmu di saat dia baru memberi isyarat-isyarat kecil, berarti kau telah melakukan dua atau tiga kesalahan: menghinanya, bersikap sombong, atau jangan-jangan kau hanya geer. Isyarat atau perhatian-perhatian kecil tidak selalu merupakan tanda cinta. Mungkin itu uluran persahabatan, atau mungkin dia memang seorang yang berhati baik.

Kalaupun betul isyarat-isyarat itu merupakan tanda cinta, ingatlah bahwa jatuh cinta bukanlah suatu kesalahan. Oleh karena itu tidak layak apabila kau menghukumnya atau menghindarinya seolah ia makhluk menjijikkan.

Jangan sampai dia merasa sudah ditolak padahal belum nembak. Itu akan membuat dia merasa harga dirinya telah jatuh sehingga dia mungkin jadi kehilangan keberanian untuk mendekati orang yang dia sukai di tempat dan waktu yang lain.

Seorang manusia dapat menerima penolakan, tapi tidak penghinaan.

Demikian.